"kaum borjuasi masih menguasai dunia, oleh karena itu kekuatan-kekuatan kiri sebagai satu kesatuan dari proletariat revolusioner seluruh dunia, memiliki situasi dan kondisi yang sama, yakni harus memeranginya"
(Moscow, Juli-Agust 1921)

Rabu, 04 Januari 2012

Imperialisme dan Kapitalisme


Pidato Indonesia Menggugat
Oleh : Ir. Soekarno
Artinya
Tuan-tuan Hakim yang terhormat!
Di dalam aksi kami sering-sering kedengaran kata-kata “kapitalisme” dan “imperialisme”. Di dalam proses ini, dua perkataana inipun menjadi penyelidikan. Kami antara lain dituduh memaksudkan bangsa Belanda dan bangsa asing lain, kalau umpamanya kami berkata “kapitaisme harus dilenyapkan”. Kami dituduh membahayakan pemerintah kalau kami berseru “rubuhkanlah imperialisme”. Ya, kami dituduhkan berkata bahwa kpitalisme = bangsa Belanda serta bangsa asing lain, dan bahwa imperialisme = pemerintah yang sekarang!
Adakah bisa jadi benar tuduhan ini? Tuduhan ini tidak bisa jadi benar. Kami tidak pernah mengatakan, bahwa kapitalisme = bangsa asing, tidak pernah mengatakan bahwa imperialisme = pemerintah. kami pun tidak pernah memaksudkan bangsa asing kalau berkata; kapitalisme, tidak pernah memaksudkan pemerintah atau ketertiban umum atau apa saja kalau kami berkata imperialisme. Kami memaksudkan kapitalisme kalau kami berkata kapitalisme; kami memaksudkan imperialisme kalau kami berkata imperialisme!
Maka apakah artinya kapitalisme? Tuan-tuan Hakim, di dalam pemeriksaan sudah kami katakan, Kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme timbul dari ini cara produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya nilai-lebih[1] tidak jatuh di dalam tangan kaum buruh melainkan jatuh di dalam tangan kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, menyebabkan akumulasi kapital , konsentrasi kapital , sentralisasi kapital , dan industrielle reserve-armée[2] . Kapitalisme mempunyai arah kepada Verelendung[3] (baca: pemelaratan).
Imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi imperialisme juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain! (Bung Karno)
Haruskah kami di dalam pidato ini masih lebih lebar lagi menguraikan, bahwa kapitalisme itu bukan suatu badan, bukan manusia, bukan suatu bangsa,–tetapi ialah suatu faham, suatu pengertian, suatu sistem? Haruskah kami menunjukkan lebih lanjut, bahwa kapitalisme itu ialah sistem cara produksi, sebagai yang kami telah terangkan dengan singkat itu? Ah, Tuan-tuan Hakim, kami rasa tidak. Sebab tidak ada satu intelektuil yang tidak mengetahui artinya kata itu. Tidak ada satu hal di dunia ini, yang sudah begitu banyak diselidiki dari kanan-kiri, luar dalam, sebagai kapitalisme itu. Tidak ada satu hal di dunia ini, yang begitu luas perpustakaannya, sebagai kapitalisme itu, –hingga berpuluh-uluh jilid, berpuluh-puluh ribu studi dan buku-buku standar dan brosur-brosur tentang itu.
Tetapi apa arti perkataan imperialisme? Imperialisme juga suatu faham, imperialisme juga suatu pengertian. Ia bukan sebagai yang dituduhkan kepada kami itu. Ia bukan ambtenaar binnelandsch bestuur[4], bukan pemerintah, bukan gezag[5], bukan badan apapun jua. Ia adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri,–suatu sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain. Ini adalah suatu “kejadian” di dalam pergaulan hidup, yang timbulnya ialah oleh keharusan-keharusan di dalam ekonomi sesuatu negeri atau sesuatu bangsa. Selama ada “ekonomi bangsa”, selama ada “ekonomi negeri”, selama itu dunia melihat imperialisme. Ia kita dapatkan dalam nafsu burung Garuda Rum terbang ke mana-mana, menaklukkan negeri-negeri sekeliling dan di luar Lautan Tengah. Ia kita dapatkan di dalam nafsu bangsa Spanyol menuduki negeri Belanda untuk bisa mengalahkan Inggris, ia kita dapatkan di dalam nafsu kerajaan Timur Sriwijaya menaklukkan negeri semenanjung Malaka, menaklukkan kerajaan Melayu, mempengaruhi rumah tangga negeri Kamboja atau Campa. Ia kita dapatkan di dalam nafsu negeri Majapahit menaklukkan dan mempengaruhi semua kepulauan Indonesia, dari Bali sampai Kalimantan, dari Sumatera sampai Maluku. Ia kita dapatkan di dalam nafsu kerajaan Jepang menduduki semenanjung Korea, mempengaruhi negeri Mancuria, menguasai pulau-pulau di Lautan Teduh. Imperialisme terdapat di semua zaman “perekonomian bangsa”, terdapat pada semua bangsa yang ekonominya sudah butuh pada imperialisme itu. Bukan pada bangsa kulit putih saja ada imperialisme; tapi juga pada bangsa kulit kuning, juga pada bangsa kulit hitam, juga pada bangsa kulit merah sawo sebagai kami,–sebagai terbukti di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit; imperialisme adalah suatu “economische gedetermineerde noodwendigheid”, suatu keharusan yang ditentukan oleh rendah tingginya ekonomi sesuatu pergaulan hidup, yang tak memandang bulu.
Dan sebagai yang tadi kami katakan, –imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi imperialisme juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain! Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa “pengluasan negeri-daerah dengan kekerasan senjata” sebagai yang diartikan oleh van Kol[6] (Seorang anggota parlemen Belanda) –tetapi ia bisa juga berjalan hanya dengan “putar lidah” atau cara “halus-halusan” saja, bisa juga berjalan dengan cara “pénétration pacifique”.
Terutama dalam sifatnya mempengaruhi rumah tangga bangsa lain, imperialisme zaman sekarang sama berbuahkan “negeri-negeri mandat” alias “mandaatgebieden”, daerah-daerah pengaruh” alias “invloedssferen” dan lain-lain sebagainya, sedang di dalam sifatnya menaklukkan negeri orang lain, imperialisme itu berbuah negeri jajahan, –koloniaal-bezit.
*) Diambil dari Risalah “Indonesia Menggugat”, yaitu Pidato Pembelaan Bung Karno di depan pengadilan kolonial (landraad) di Bandung, 1930.

[1] Nilai lebih (merrwarde): kelebihan hasil yang diterima majikan, dari produksi kaum buruh. [2] industrielle reserve-armée: barisan penganggur
[3] Verelendung: Memelaratkan kaum buruh.
[4] ambtenaar BB (binnelandsch bestuur): pegawai pamong praja kolonial belanda
[5] Gezag: kekuasaan.
[6] Van Kol Henri Hubert (1852-1925) , seorang sosialis yang turut mendirikan Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) dan pernah menjadi Menteri Jajahan. Kata-kata ini diucapkan Van Kol dalam sidang Tweede Kamer, 22 November 1901.
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (1)

Oleh: Sukarno
Sebagai Aria Bimaputra, yang lahirnya dalam zaman perjuangan maka INDONESIA-MUDA inilah melihat cahaya hari pertama-tama dalam zaman yang rakyat-rakyat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya. Tak senang dengan nasib-ekonominya, tak senang dengan nasib-politiknya, tak senang dengan segala nasib yang lain-lainnya.
Zaman “senang dengan apa adanya”, sudahlah lalu.
Zaman baru: zaman muda, sudahlah datang sebagai fajar yang terang cuaca.
Zaman teori kaum kuno, yang mengatakan., bahwa “siapa yang ada di bawah, harus terima-senang, yang ia anggap cukup-harga duduk dalam perbendaharaan riwayat, yang barang kemas-kemasnya berguna untuk memelihara siapa yang lagi berdiri dalam hidup”, kini sudahlah tak mendapat penganggapan lagi oleh rakyat-rakyat Asia itu. Pun makin lama makin tipislah kepercayaan rakyat2 itu, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu, adalah sebagai “voogd” yang kelak kemudian hari akan “ontvoogden” mereka; makin lama makin tipislah kepercayaannya, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu ada sebagai “saudara-tua” yang dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka, bilamana mereka sudah “dewasa”, “akil-balig”, atau “masak”.
Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendir pengetahuan, bersendi keyakinan, bahwa yang menyebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemasyuran, bukan keinginan melihat dunia-asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banyaknya penduduk, — sebagai yang telah diajarkan oleh Gustav Klemm —, akan tetapi asalnya kolonisasi ialah teristimewa soal rezeki.
“Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal-hidup dalam tanah-airnya sendiri”, begitulah Dietrich Schafer berkata. Kekurangan rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat Eropa mencari rezeki di negeri lain! Itulah pula yang menjadi sebab rakyat2 itu menjajah negeri-negeri, di mana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah pula yang membikin “ontvoogding”-nya negeri-negeri jajahan oleh negeri-negeri yang menjajahnya itu, sebagai suatu barang yang sukar dipercayainya. Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul-nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya!…
Begitulah bertahun-tahun, berwindu-windu, rakyat-rakyat Eropa itu mempertuankan negeri-negeri Asia. Berwindu-windu rezeki-rezeki Asia masuk ke negerinya. Teristimewa Eropa-Baratlah yang bukan main tambah kekayaannya.
Begitulah tragisnya riwayat-riwayat negeri-negeri jajahan! Dan keinsyafan akan tragis inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu; sebab, walaupun lahirnya sudah alah dan takluk, maka Spirit of Asia masihlah kekal. Roh Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya! Keinsyafan akan tragis inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia-kita, yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat: NASIONALISTIS, ISLAMISTIS dan MARXISTIS-lah adanya.
Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan, bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang maha-besar dan maha-kuat, satu ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya.
Akan hasil atau tidaknya kita menjalankan kewajiban yang seberat dan semulia itu, bukanlah kita yang menentukan. Akan tetapi, kita tidak boleh putus2 berdaya-upaya, tidak boleh habis-habis ichtiar menjalankan kewajiban ikut mempersatukan gelombang2 tahadi itu! Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia-Merdeka!
Entah bagaimana tercapainya persatuan itu; entah pula bagaiman rupanya persatuan itu; akan tetapi tetaplah, bahwa kapal yang membawa kita ke-Indonesia-Merdeka itu, ialah Kapal-Persatuan adanya! Mahatma, jurumudi yang akan membuat dan mengemudikan Kapal-Persatuan itu kini barangkali belum ada, akan tetapi yakinlah kita pula, bahwa kelak kemudian hari mustilah datang saatnya, yang Sang Mahatma itu berdiri di tengah kita!…
Itulah sebabnya kita dengan besar hati mempelajari dan ikut meratakan jalan yang menuju persatuan itu. Itulah maksudnya tulisan yang pendek ini.
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme!
Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini.
Partai Boedi Oetomo, “marhum” Nationaal Indische Partij yang kini masih “hidup”, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak partai-partai lain … itu masing-masing mempunyai r o h Nasionalisme, roh Islamisme, atau roh Marxisme adanya. Dapatkah roh-roh ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu Roh yang Besar, Roh Persatuan? Roh Persatuan yang akan membawa kita ke-lapang ke-Besaran?
Dapatkah dalam tanah jajahan pergerakan Nasionalisme itu dirapatkan dengan pergerakan Islamisme yang pada hakekatnya tiada bangsa, dengan pergerakan Marxisme yang bersifat perjuangan internasional?
Dapatkah Islamisme itu, ialah sesuatu agama, dalam politik jajahan bekerja bersama-sama dengan nasionalisme yang mementingkan bangsa, dengan materialismenya Marxisme yang mengajar perbendaan?
Akan hasilkah usaha kita merapatkan Boedi Oetomo yang begitu sabar-halus (gematigd), dengan Partai Komunis Indonesia yang begitu keras sepaknya, begitu radikal-militan terjangnya? Boedi Oetomo yang begitu revolusioner, dan partai Komunis Indonesia, yang walaupun kecil sekali, oleh musuh-musuhnya begitu didesak dan dirintangi, oleh sebab rupa-rupanya musuh-musuh itu yakin akan peringatan AL Carthill, bahwa “yang mendatangkan pemberontakan-pemborantakan itu biasanya bagian-bagian yang terkecil, dan bagian-bagian yang terkecil sekali”?
Nasionalisme! Kebangsaan!
Dalam tahun 1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang faham “bangsa” itu. “bangsa” itu menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjadi satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan “bangsa” itu.
Dari tempo-tempo belakangan, maka selainnya penulis-penulis lain sebagai Karl Kautsky dan Karl Radek, teristimewa Otto Bauer-lah yang mempelajari soal “bangsa” itu.
“banga itu adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”, begitulah katanya.
Nasionalisme itu ialah suatu iktikad; suatu keinsafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu “bangsa”!
Bagaimana juga bunyinya keterangan-keterangan yang telah diajarkan oleh pendekar-pendekar ilmu yang kita sebutkan diatas tadi,maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis itu menimbulkan suaut rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahan diri didalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan, yang mau mengalahkan kita.
Rasa percaya akan diri sendiri inilah yang memberi keteguhan hati pada kaum Boedi Oetomo dalam usahanya mencari Djawa-besar; rasa percaya akan diri sendiri inilah yang menimbulkan ketetapan hati pada kaum revolusioner-nasionalis dalam perjuangannya mencari Hindia-Besar atau Indonesia-Merdeka adanya.
Apakah rasa nasionlisme,— yang, oleh kepercayaan akan diri sendiri itu, begitu gampang menjadi kesombongan-bangsa, dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua, ialah kesombongan-ras, walaupun faham ras (jenis) ada setinggi langit bedanya dengan faham bangsa, oleh karena ras itu ada suatu faham biologis, sedang nationaliteit itu suatu faham sosiologis (ilmu pergaulan hidup), — apakah nasionalisme itu dalam perjuangan-jajahan bisa bergandengan dengan Islamisme yang dalam hakekatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-macam bangsa dan bermacam-macam ras;— apakah Nasionalisme itu dalam politik colonial bisa rapat-diri dengan Marxisme yang internasional, interracial itu?
Dengan ketetapan hati kita menjawab: bisa!
Sebab walaupun Nasionalisme itu dalam hakekatnya mengecualikan segala pihak yang tak ikut mempunyai ” keinginan hidup menjadi satu” dengan rakyat itu; walaupun Nasionalisme itu sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa “satu golongan, satu bangsa” dengan rakyat itu; walaupun kebangsaan itu dalam azasnya menolak segala perangai yang terjadinya tidak ” dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”,—maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia yang menjadikan pergerakan islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia-kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanya mempunyai “keinginan hidup menjadi satu”;— bahwa mereka dengan kaum nasionalis itu merasa “satu golongan, satu bangsa” ;— bahwa segala pihak dari pergerakan kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun pula Marxis, beratus-ratus tahun lamanya ada “persatuan hal-ichwal”, beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka! Kita tak boleh lalai, bahwa teristimewa “persatuan hal-ichwal”, persatuan nasib, inilah yang menimbulkan rasa “segolongan” itu. Betul rasa-golongan ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama lain; betul sampai kini, belum pernah ada persahabatan yang kokoh diantara pihak-pihak pergerakan di Indonesia-kita ini,— akan tetapi bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa terjadi. Jikalau kita sekarang mau berselisih, amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!
Maksud tulisan ini ialah membuktikan, bahwa persahabatan bisa tercapai
Hendaklah kaum Nasionalis yang mengecualikan dan mengecilkan segala pergerakan yang tak terbatas pada Nasionalisme, mengambil teladan akan sabda Karamchand Gandhi: “buat saja, maka tjinta saja pada tanah-air itu, masuklah dalam tjinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan bercara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga.” inilah rahasianya, yang Gandhi cukup kekuatan mempersatukan pihak Islam dengan pihak Hindu, pihak Parsi, pihak Jain, dan Pihak Sikh yang jumlahnya lebih dari tigaratus juta itu, lebih dari enam kali jumlah putera Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang ada dimuka bumi ini!
Tidak adalah halangannya nasionalis itu dalam geraknya bekerja bersama-sama dengan kaum Islamis dan Marxis. Lihatlah kekalnya perhubungan antara Nasionalis Gandhi dengan Pan-Islamis Maulana Mohammad Ali, dengan Pan-Islamis Sjaukat Ali, yang waktu pergerakan non-cooperation India sedang menghaibat, hampir tiada pisahnya satu sama lainnya. Lihatlah geraknya Partai Nasionalis Kuomintang di Tiongkok, yang dengan ridla hati menerima faham-faham Marxis: tak setuju pada kemiliteran, tak setuju pada imperialisme, tak setuju pada kemodalan!
Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berubah faham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh marxis dan islamis itu berbalik menjadi nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu.
Bahwa sesungguhnya, asal mau sahadja…tak kuranglah jalan kearah persatuan. Kemauan, percaya akan ketulusan hati satu sama lain, keinsafan akan pepatah “rukun membikin sentausa” (itulah sebaik-baiknya jembatan kearah persatuan), cukup kuatnya untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala pihak-pihak dalam pergerakan kita ini.
Kita ulangi lagi: tidak adalah halangannya Nasionalis itu dalam geraknya, bekerja bersama-sama dengan Islamis dan Marxis.
Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka,— nasionalis yang bukan chauvinis, tak boleh tidak, haruslah menolak segala faham pengecualian yang sempit-budi itu. Nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, —nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindar dari segala faham kekecilan dan kesempitan. Baginya, maka rasa cinta-bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.
Wahai, apakah sebabnya kecintaan-bangsa dari banyak nasionalis Indonesia lalu menjadi kebencian, jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang berkeyakinan Islamistis? Apakah sebabnya kecintaan itu lalu berbalik menjadi permusuhan, jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang bergerak Marxistis? Tiadakah tempat dalam sanubarinya untuk nasionalismenya Gopala Krishna Gokhate, Mahatma Gandhi, atau Chita Ranjam Das?
Janganlah hendaknya kaum kita sampai hati memeluk jingo-nationalism, sebagai jingo-nationalismnya Arya-Samaj di India pembelah dan pemecah persatuan Hindu-Muslim; sebab jingo-nationalism yang semacam itu “akhirnya pastilah binasa”, olah karena “nasionalisme hanyalah dapat mencapai apa yang dimaksudkannya, bilamana bersendi atas azas-azas yang lebih sutji”.
Bahwasannya, hanya nasionalisme-ke-Timur-an yang sejatilah yang pantas dipeluk oleh nasionalis-Timur yang sejati. Nasionalisme-Eropah, ialah suatu nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, —nasionalisme yang semacam itu akhirnya pastilah alah, Pastilah binasa.
Adakah keberatan untuk kaum Nasionalis yang sejati, buat bekerja bersama-sama dengan kaum islam, oleh karena Islam itu melebihi kebangsaan dan melebihi batas-negeri ialah super-nasional super-teritorial? Adakah internationaliteit Islam suatu rintangan buat geraknya nasionalisme, buat geraknya kebangsaan?
Banyak nasionalis-nasionalis diantara kita yang sama lupa bahwa pergerakan-nasionalisme dan Islamisme di Indonesia ini—ja, diseluruh Asia— ada sama asalnya, sebagai yang telah kita uraikan diawal tulisan ini: dua-duanya berasal nafsu melawan “barat”, atau lebih tegas, melawan kapitalisme dan imperialisme barat, sehingga sebenarnya bukan lawan, melainkan kawannyalah adanya. Batapa lebih luhurnyalah sikap nasionalis Prof. T. L. Vaswani, seoarang yang bukan islam, yang menulis: “Jikalau Islam menderita sakit, maka Roch kemerdekaan Timur tentulah sakit juga; sebab mungkin sangatnya negeri-negeri muslim kehilangan kemerdekaannya, makin lebih sangat pula imperialisme Eropah mencekek Roh Asia. Tetapi, saya percaya pada Asia-sediakala; saya percaya bahwa rohnya masih akan menang. Islam adalah internasional, dan jikalau Islam merdeka, maka nasionalisme kita itu adalah diperkuat oleh segenap kekuatannya iktikad international itu.”
Dan bukan itu sahadja. Banyak nasionalis-nasionalis kita yang sama lupa, bahwa orang islam, dimanapun juga ia adanya, diseluruh “Darul-Islam”, menurut agamanya, wajib bekerja untuk keselamatan orang negeri yang ditempatinya. Nasionalis-nasionalis itu lupa, bahwa orang Islam yang sungguh-sungguh menjalankan ke-Islam-annya, baik orang Arab maupun orang India, baik orang Mesir maupun orang manapun juga, jikalau berdiam di Indonesia, wajib pula bekerja untuk keselamatan Indonesia itu. “Dimana-mana orang Islam bertempat, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, didalam negeri yang baru itu ia masih menjadi satu bahagian dari pada rakyat Islam, daripada Persatuan Islam. Dimana-mana orang Islam bertempat, disitulah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya”.
Inilah Nasionalisme Islam! Sempit-budi dan sempit-pikiranlah nasionalis yang memusuhi Islamisme serupa ini. Sempit-budi dan sempit-pikiranlah ia, oleh karena ia memusuhi suatu azas, yang, walaupun internasional dan interracial, mewajibkan pada segenap pemeluknya yang ada di Indonesia, bangsa apa merekapun juga, mencintai dan bekerja untuk keperluan Indonesia dan rakyat Indonesia juga adanya!
Adakah pula keberatan untuk kaum nasionalis sejati, bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, oleh karena Marxisme itu internasional juga?
Nasionalis yang segan berdekatan dan bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis,—Nasionalis yang semacam itu menunjukkan ketiadaan yang sangat, atas pengetahuan tentang berputarnya roda-politik dunia dan riwayat. Ia lupa, bahwa asal pergerakan Marxis di Indonesia atau Asia itu, juga merupakan tempat asal pergerakan mereka. Ia lupa, bahwa arah pergerakannya sendiri itu acap kali sesuai dengan arah pergerakan bangsanya yang Marxistis tadi. Ia lupa, bahwa memusuhi bangsanya yang Marxistis itu, samalah artinya dengan menolak kawan-sejalan dan menambah adanya musuh. Ia lupa dan tak mengerti akan arti sikapnya saudara-saudaranya dilain-lain negeri Asia, umpamanya almarhum Dr. Sun Yat Sen, panglima Nasinalis yang besar itu, yang dengan segala kesenangan hati bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis walaupun beliau itu yakin, bahwa peraturan Marxis pada saat itu belum bisa diadakan di negeri Tiongkok, Oleh karena dinegeri Tiongkok itu tidak ada syarat-syaratnya yang cukup-masak untuk mengadakan peraturan Marxis itu. Perlukah kita membuktikan lebih lanjut, bahwa Nasionalisme itu, baik sebagai suatu azas yang timbulnya dari rasa ingin hidup menjadi satu; baik sebagai suatu keinsafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu bangsa; maupun sebagai suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu,— perlukah kita membuktikan lebih lanjut bahwa Nasionalisme itu, asal sahadja yang memeluknya mau, bisa dirapatkan dengan Islamisme dan Marxisme? Perlukah kita lebih lanjut mengambil contoh-contoh sikapnya pendekar-pendeka Nasionalis dilain-lain negeri, yang sama bergandengan tangan dengan kaum-kaum Islamis dan rapat-diri dengan kaum-kaum Marxis?
Kita rasa tidak! Sebab kita percaya bahwa tulisan ini, walaupun pendek dan jauh kurang sempurna, sudahlah cukup jelas untuk nasionalis-nasionalis kita yang mau bersatu. Kita percaya, bahwa semua nasionalis-nasionalis-muda adalah berdiri disamping kita. Kita percaya pula, bahwa masih banyaklah nasionalis-nasionali kolot yang mau akan persatuan; hanyalah kebimbangan mereka akan kekalnya persatuan itulah yang mengecilkan hatinya untuk mengikhtiarkan persatuan itu. Pada mereka itulah terutama tulisan ini kita hadapkan; untuk merekalah terutama tulisan ini kita adakan.
Kita tidak menuliskan rencana ini untuk Nasionalis-nasionalis yang tidak mau bersatu.
Nasionalis-nasionalis yang demikian itu kita serahkan pada pengadilan riwayat, kita serahkan pada putusannya mahkamah histori!
Bersambung…